Pembangunan kesehatan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dan dilaksanakan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Kesehatan itu sendiri merupakan keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dan kesehatan juga merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang telah ada didalam isi Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Salah satu bagian terpenting dari kesehatan adalah kesehatan reproduksi. Pengertian kesehatan reproduksi hakekatnya telah tertuang dalam Pasal 71 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan. Setiap orang berhak untuk mendapatkan keturunan, termasuk juga hak untuk tidak mendapatkan keturunan, hak untuk hamil, hak untuk tidak hamil, dan hak untuk menentukan jumlah anak yang diinginkan. Pemahaman kesehatan reproduksi tersebut termasuk pula adanya hak – hak setiap orang untuk memperoleh pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, efektif, dan terjangkau.
Ruang lingkup pelayanan kesehatan reproduksi yang paling penting adalah masalah kesehatan ibu, infertilitas dan aborsi, terutama pada kesehatan reproduksi perempuan. Permasalahan kesehatan ibu menjadi penting karena angka kematian ibu di Indonesia masih tinggi dan memerlukan perhatian serta upaya khusus untuk menurunkannya. Sedangkan infertilitas dan aborsi menjadi isu penting karena sangat terkait dengan aspek etikolegal. Kesehatan ibu yang disebut juga sebagai kesehatan maternal, merupakan bagian dari kesehatan reproduksi perempuan yang mencakup kesehatan reproduksi sejak remaja, saat sebelum hamil, hamil, persalinan, dan sesudah melahirkan.
Maka dari itu dengan adanya kasus yang telah terjadi di akhir – akhir ini menyatakan bahwa munculnya kasus negative mengenai kesehatan reproduksi. Hal ini merupakan tugas utama pihak pemerintah untuk membuat kebijakan demi meminimalisir adanya kasus dan jatuh nya korban yang tidak lain adalah masyarakat itu sendiri. Sehingga akan membawa dampak pada menurunnya kualitas hidup masyarakat serta derajat kesehatan masyarakat,berdasarkan permasalahan tersebut maka saya akan menganalisis mengenai sebuah kebijakan yang sesuai dengan pendekatan segitiga kebijakan yang bersifat retrospektif (analysis of policy) yang meliputi berbagai hal terutama mengenai permasalahan tersebut aspek yang terdapat di pendekatan segitiga tersebut adalah :
1. Actor
a. Siapa Pembuat atau penyusunan Kebijakan
· Kementerian Kesehatan : Mengidentifikasi status kesehatan masyarakat sebagai bahan perumusan kebijakan
· Kementerian Sosial dan Kementerian Dalam Negeri : Program intervensi pengentasan kemiskinan, PNPM Generasi dan PKH
· Pemerintah Pusat (Presiden Republik Indonesia) : Yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
· LSM nasional dan internasional : Berperan dalam penyusunan kebijakan public termasuk pengalokasian anggaran yang bersumber dari APBD.
· Dinas Kesehatan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota
· Kelompok intersektoral dipimpin oleh Bappenas di tingkat pusat dan Bappeda di tingkat provinsi dan kabupaten/kota
b. Siapa penyediaan layanan
· Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta, Klinik, dan Praktek perorangan
· LSM, yang bekerja sebagai promotif dan preventif
2. Context
Dampak Kebijakan Desentralisasi di sektor kesehatan belum banyak diperhitungkan. Isu program Kesehatan Reproduksi belum diperhatikan di daerah, khususnya di kabupaten. Pemerintah pusat sudah mempunyai perhatian besar untuk Kesehatan Reproduksi, namun tidak mampu mengajak pemerintah propinsi dan kabupaten untuk memperhatikannya. Di berbagai daerah anggaran untuk Kesehatan Reproduksi masih rendah terutama di pulau jawa.
Beberapa faktor dari context ini meliputi hal yaitu :
a. Konteks Situasional
Secara kontekstual terlihat bahwa Kebijakan Desentralisasi di sektor kesehatan belum banyak dipergunakan untuk kepentingan pelaksanaan kebijakan Kesehatan Reproduksi. Isu program Kesehatan Reproduksi belum diperhatikan di daerah, khususnya di kabupaten. Pemerintah pusat sudah mempunyai perhatian besar untuk Kesehatan Reproduksi, namun tidak mampu mengajak pemerintah propinsi dan kabupaten untuk memperhatikannya. Di berbagai daerah anggaran untuk Kesehatan Reproduksi masih rendah. Kebijakan Kesehatan Reproduksi terlihat hanya satu di seluruh Indonesia. Belum terlihat banyak program yang khas daerah. Hal ini terjadi karena tingkat ekonomi yang rendah, kesadaran masyarakat yang masih rendah akan pentingnya kesehatan reproduksi.
b. Konteks kultural
Budaya memegang peranan penting sebagai faktor penentu peningkatan derajat kesehatan khususnya kesehatan reproduksi dan kualitas sumber daya manusia. Misalkan dukungan desa yang kurang terhadap program kesehatan, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat terutama ibu serta kader kesehatan sehingga tidak maksimal dalam upaya perbaikan program, faktor budaya dalam membuat keputusan selalu melibatkan keluarga besar sehingga untuk melakukan tindakan cepat terkendala. tidak meratanya pelatihan terhadap bidan, fasilitas kesehatan yang kurang memadai, penguasaan bahasa dan budaya setempat yang masih kurang oleh petugas kesehatan, kurang adanya info kesehatan yang ada bagi bidan didesa, dan kurangnya akses informasi kesehatan.
c. Konteks global
Peraturan – peraturan ini muncul adalah bagian dari keikutsertaan Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan dan meningkatkan derajat kesehatan dunia melalui kerjasama lintas Negara dan ikut dalam organisasi WHO sebagai organisasi yang fokus terhadap permasalahn kesehatan dunia.
3. Proses
Setelah mengidentifikasi masalah dan isu mengenai pentingnya kesehatan reproduksi maka pemerintah dan pihak – pihak yang terlibat dapat merumuskan kebijakan mengenai Kesehatan Reproduksi tersebut. Kebijakan ini dirumuskan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam Peraturan Pemerintah No.61 tahun 2014 yang mengacu pada:Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063)
a. Identifikasi Masalah dan Isu
Pemerintah mengeluarkan peraturan pro aborsi. Secara diam-diam pada tanggal 21 Juli 2014 lalu SBY telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Peraturan itu disahkan demi melaksanakan ketentuan Pasal 74 ayat (3), Pasal 75 ayat (4), Pasal 126 ayat (3), dan Pasal 127 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Kontroversi timbul karena pasal 31 ayat (2) PP itu mengatur kebolehan aborsi bagi perempuan hamil yang diindikasikan memiliki kedaruratan medis dan atau hamil akibat perkosaan, sesuai materi pasal 75 ayat (1) UU Kesehatan. Yang dimaksud indikasi kedaruratan medis meliputi kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu dan/atau janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan. Sedangkan aborsi akibat perkosaan dibolehkan dengan alasan dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban.
Indonesia belum bisa menerima aborsi, sekalipun terhadap korban perkosaan. Bahkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjalankan PP itu. Ketua Umum Pengurus Besar (PB) IDI, Zaenal Abidin, menyatakan, "Berdasarkan Sumpah Dokter butir 6 dan Kode Etik Kedokteran pasal 11, tindakan aborsi untuk indikasi selain medis jelas bertentangan dengan Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran. Tujuannya adalah untuk menyelamatkan nyawa, namun ada beberapa kondisi yang juga dilonggarkan. Alasan tersebut bisa dimanfaatkan oleh perempuan yang stres karena kehamilan yang tidak direncanakan untuk melakukan aborsi. Di sisi lain, aturan itu bakal mempidanakan dokter yang menjalankan praktek aborsi sesuai pasal 349 KUHP karena menghilangkan nyawa orang lain.
b. Perumusan Kebijakan
Pemerintah memang telah melakukan kekeliruan yang sangat besar. Realitas pergaulan bebas yang merebak di kalangan kaum muda, justru disikapi dengan melegalisasi aturan yang makin memperparah keadaan. Sebenarnya penerbitan PP no 61/2014 bukan tentang aborsi.Namun PP ini adalah komitmen pemerintah untuk memberikan perangkat hukum terhadap kesehatan reproduksi, termasuk berkaitan dengan hak perempuan untuk menentukan kehamilan yang terjadi dirinya.Tentu saja dampaknya akan jauh lebih besar dibandingkan dengan "hanya sekedar aborsi".
Dalam kebijakan kontrol populasi, secara khusus pemerintah mengacu pada Programme of Action (PoA) yang diputuskan dalam International Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo pada 5–13 September 1994. Konferensi yang dipandu United Nations Population Fund (UNFPA) itu memang membahas secara khusus topik perlindungan bagi perempuan dari aborsi yang tidak aman, selain masalah pengendalian kelahiran, keluarga berencana, pendidikan perempuan, dan berbagai masalah kependudukan. PoA didasari oleh gagasan bahwa perlu dilakukan upaya peningkatan status sosial, ekonomi, politik dan kesetaraan bagi perempuan, termasuk dalam hak kesehatan seksual dan reproduksi (sexual and reproductive health and rights /SRHR). Konsep SRHR dipandang sebagai salah satu kemajuan.
Rekomendasi itu diterjemahkan dalam Pasal 26 Ayat (2) PP dengan penyesuaian terhadap kondisi Indonesia. Pasal itu menegaskan bahwa setiap perempuan berhak menjalani kehidupan seksual yang sehat secara aman, tanpa paksaan dan diskriminasi, tanpa rasa takut, malu, dan rasa bersalah. Kehidupan seksual yang sehat sebagaimana dimaksud meliputi kehidupan seksual yang: (a). Terbebas dari infeksi menular seksual (b). Terbebas dari disfungsi dan gangguan orientasi seksual; (c). Terbebas dari kekerasan fisik dan mental (d). Mampu mengatur kehamilan dan (e). Sesuai dengan etika dan moralitas.
c. Pelaksanaan Kebijakan
Bagi perempuan di Indonesia, masalah kesehatan dan pendidikan merupakan masalah penting dilihat dari urgensi dan besarnya permasalahan. Dalam bidang kesehatan, misalnya, penerapan program KB (keluarga berencana) dalam tiga puluh tahun terakhir membuktikan focus pemerintah pada alat reproduksi perempuan dalam mengendalikan jumlah penduduk. Dalam bidang pendidikan, data statistik kesejahteraan tahun 2000 menunjukkan persentase penduduk buta huruf pada perempuan lebih tinggi 0.35 persen dibanding laki-laki. Sedangkan jumlah perempuan bersekolah pada usia 16-18 tahun lebih rendah 0.76 persen dibanding laki-laki .
Kebijakan Kesehatan Reproduksi di Indonesia Kesehatan reproduksi perempuan terkait dengan berbagai hal sebagai berikut :
1. Kebijakan kependudukan
2. Muncul dan berkembangnya penyakit HIV/AIDS dan PMS (penyakit menular seksual) lainnya
3. Kecenderungan aktivitas seksual pada usia yang semakin muda
Setelah ditetapkannya Perpres No 61 Tahun 2014 dan muncul kebijakan tersebut maka Komunikasi, informasi, dan edukasi diberikan sesuai kebutuhan berdasarkan siklus kehidupan manusia karena setiap tahapan kehidupan membutuhkan penanganan sistem reproduksi yang khas, dimulai dari masa remaja dan usia subur. Dengan melakukan beberapa penanganan, yaitu salah satunya adalah Yang dimaksud dengan "rehabilitasi psikososial" merupakan penanganan terhadap korban untuk dapat kembali ke masyarakat dengan cara memulihkan status mental ke kondisi semula melalui konseling, pendampingan, kunjungan rumah, dan penyediaan rumah aman (shelter). Sehingga dengan kerja sama dari pihak pihak yang terkait maka bangsa Indonesia sedikit demi sedikit akan meningkatkan derajat kesehatan serta kualitas hidup masyarakat.
4. Isi (konten)
Dalam rangka memberikan kepastian hukum, perlindungan hukum, serta menata konsep-konsep yang berhubungan dengan hukum yang mengatur penyelenggaraan reproduksi, aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan perkosaan pada tindakan aborsi, pelayanan kesehatan ibu serta penyelenggaraan kehamilan di luar cara alamiah agar berjalan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat Indonesia, perlu mengatur penyelenggaraan Kesehatan Reproduksi dengan Peraturan Pemerintah. peraturan Pemerintah ini mengatur : (1) Tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah; (2) Pelayanan kesehatan ibu (3) Indikasi kedaruratan medis dan perkosaan sebagai pengecualian atas larangan aborsi (4) Reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara alamiah (5) Pendanaan dan (6) Pembinaan dan pengawasan.
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas pemberian informasi dan pelaksanaan edukasi mengenai kesehatan reproduksi bagi masyarakat khususnya generasi muda. Diantaranya informasi dan edukasi mengenai keluarga berencana dan metode kontrasepsi sangat perlu ditingkatkan. Dengan informasi dan edukasi tersebut, diharapkan dapat menurunkan kejadian premarital seks, seks bebas serta angka kehamilan yang tidak diinginkan yang dapat menjurus ke aborsi dan infeksi menular seksual termasuk penularan HIV dan AIDS. Perilaku berisiko lain yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi antara lain penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (Napza) dan perilaku gizi buruk yang dapat menyebabkan masalah gizi khususnya anemia. Upaya mempersiapkan remaja untuk menjalani kehidupan reproduksi yang sehat dan bertanggungjawab meliputi persiapan fisik, psikis, dan sosial untuk menikah dan hamil pada usia yang matang.
Keseimpulan
Peraturan Pemerintah No.61 tahun 2014 merupakan salah satu kebijakan kesehatan yang terintegrasi dalam rangka menjamin kesehatan masyarakat Indonesia. Maka, dalam pendektan segitiga kebijakan tentang peraturan kesehatan reproduksi maka dari segi actor penyusun kebijakan dilakukan oleh kementrian Kesehatan, Kementrian Sosial, Pemerintah Pusat, LSM nasional maupun Internasional, Dinas Kesehatan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dan sumber daya keuangannya dikelolah oleh pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Serta penyediaan layanannya terdapat di Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta, Klinik, dan Praktek perorangan, sedangkan LSM membantu bekerja sebagai promotif dan preventif. Dalam segi konteks, Peraturan Pemerintah No.61 tahun 2014 di maksudkan untuk menjamin kesehatan masyarakat dari segi faktor situasional, structural, budaya. Dalam segi Proses, Peraturan Pemerintah No.61 tahun 2014, disusun atas isu permasalahan yang terjadi di Indonesia dan perumusan kebijakan tersebut, serta pelaksanaan kebijakan selanjutnya. Dalam segi isi, peraturan Pemerintah No.61 tahun 2014 berisi penjelasan bahwa Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas pemberian informasi dan pelaksanaan edukasi mengenai kesehatan reproduksi bagi masyarakat khususnya generasi muda serta mengajak remaja untuk mengunjungi pelayanan kesehatan terkait pelayanan kesehatan reproduksi. Diantaranya informasi dan edukasi mengenai menjaga dan merawat kesehatan reproduksinya serta bagi ibu-ibu mengenai keluarga berencana dan metode kontrasepsi sangat perlu ditingkatkan di masyarakat.
Nama : Yolanda rizqi Amalia
Kelas : AKK / A