Monday, June 5, 2017

Evaluasi Program Pengendalian Penyakit DBD di Kota Semarang Tahun 2011 (Studi di Dinas Kesehatan Kota Semarang)

Latar belakang

Penyakit DBD merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh nyamuk, yaitu nyamuk Aedes. Penyakit ini sangat marak terjadi saat musim penghujan terutama di daerah-daerah yang lembab dan terdapat banyak tempat penampungan air. Salah satu contoh kasus DBD di kota Semarang dimana menujukkan kenaikan angka kematian akibat penyakit DBD ini. Berdasarkan jurnal yang saya peroleh mengenai evaluasi Program Pengendalian Penyakit DBD di Kota Semarang Tahun 2011 maka evaluasi input output dan proses sebagai berikut :

Input :

1.      Aspek ABJ atau Angka Bebas Jentik pada rumah/bangunan di Semarang belum memenuhi target.

2.      Aspek pendanaan, untuk upaya pencegahan dan pemberantasan DBD diperoleh dari APBD I dan APBD II, dana tersebut dibagi ke tiga bidang yaitu Kesga untuk program PSN anak sekolah, PKPKL untuk program pemberdayaan dan P2P untuk program penanggulangan.

3.      Aspek regulasi dan SOP, hanya ada satu peraturan yang mengatur tentang upaya pengendalian  DBD yaitu Perda Kota Semarang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Pengendalian Penyakit DBD. Sedangkan untuk SOP hanya ada dua SOP yaitu SOP tatalaksana kasus DBD dan SOP pelaporan kasus DBD.

4.      Sumber Daya Manusia kurang memadai petugas-petugas kesehatan. Belum terpenuhinya petugas entomolog, epidemiolog, sanitarian dan penyuluh di masing-masing puskesmas.

5.      Sarana dan prasarana yang disediakan pelayanan kesehatan kurang memadai untuk melayani kebutuhan masyarakat.

6.      Peran serta masyarakat yang dirasa masih kurang efektif dan efisien dalam pengendalian dan pencegahan penyakit DBD ini.

Proses

Perencanaan, pengorganisasian dan pelaksanaan serta evaluasi yang dilakukan dalam program pengendalian penyakit DBD di Kota Semarang didapatkan hasil masih banyak puskesmas yang tidak memiliki fungsional entomolog maupun epidemiolog sehingga pelaksanaan program pengendalian DBD di puskesmas tersebut dilaksanakan oleh sanitarian atau penyuluh. Apabila setiap puskesmas telah memiliki petugas kesehatan tersebut maka tanggung jawab terhadap peningkatan kesehatan dapat di maksimalkan sesuai dengan ranah tanggung jawab petugas kesehatan.

Keuangan jumlah sudah cukup dan pemakaian jelas dalam program pengendalian DBD. Dari anggaran Rp 1.552.453.475,- yang terpakai untuk program pengendalian DBD Rp 1.200.960.785,- atau sebanyak 77,4%. Dana dalam Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit DBD sudah digunakan sebagaimana mestinya dan jika ada sisa dana maka akan dikembalikan ke kas daerah.

Ada beberapa laporan yang tidak dilaporkan misalnya laporan tahunan dan peta stratifikasi DBD per kecamatan. Hanya ketepatan waktu penyampaian laporan dan kelengkapannya yang masih kurang. Ada 45 kasus DBD yang tidak dilakukan Penyelidikan Epidemiologi (PE). Hal ini disebabkan karena kurang lengkapnya alamat indeks kasus atau indeks kasus sudah pindah sehingga indeks kasus tidak ditemukan. Pelaksanaan fogging yang < 5 hari sebanyak 64,1%. Hal ini kurang, belum sesuai dengan target yang ditentukan yaitu fogging < 5 hari sebesar 100%.

Pelaksanaan PJR yang dilaksanakan oleh kader atau jumantik dinilai kurang karena PJR tidak dilakukan seminggu sekali. Banyak kader atau jumantik yang memalsukan data pemeriksaan jentik sehingga hasilnya tidak akurat. Masyarakat dalam hal ini mempunyai peranan yang sangat penting, karena program pengendalian DBD akan berhasil bila masyarakat berperilaku baik. Namun pada kenyataannya masih banyak masyarakat yang tidak berperan aktif sehingga kurang mendukung program pengendalian DBD di Kota Semarang. Hanya 84% masyarakat yang berperan aktif dari hasil Riskesdas 2012

 

Output


Dalam indikator kinerja output di formulir Bidang P2PL, pertemuan pengelola program tidak dicantumkan dalam PKK sehingga realisasi dan presentase pencapaian rencana tingkat capaian (target) dikosongi oleh peneliti. Namun mengenai pemeliharaan mesin FOG, penanggulangan fokus, dan belanja bahan kimia, semuanya terealisasi 100%. Sedangkan pelacakan kasus DBD terealisasi 30%. Ditambah dengan peran yang paling besar dalam pelacakan kasus adalah petugas DBD puskesmas, petugas kesling, petugas sanitasi, dan pembina desa. Petugas DBD di tingkat puskesmas sudah paham mengenai PSN, fogging, maupun abatisasi. Pelaksana fogging adalah puskesmas, dana dan operasional pelaksanaan dari Dinkes. Kemudian dilakukannya pertemuan pengelola program sesuai dengan formulir dan yang termasuk pengelola program adalah pengelola program DBD setiap puskesmas.

kelemahan  : kurangnya kesadaran masyarakat dalam membiasakan pola hidup bersih dan sehat karena peran masyarakat ini sangat dominan dalam menciptakan  kawasan rumah yang bebas dari nyamuk. Masih kurangnya gerakan PSN di masyarakat juga menjadi hambatan pelaksanaan program. Kegiatan pelaksanaan PSN harus dilakukan secara terpadu mulai dari Bupati, DPR, dinas-dinas, dan masyarakat. Minimnya pengetahuan masyarakat tentang pendidikan juga sangat berpengaruh terhadap kelancaran pelaksanaan Program Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit DBD. Hal tersebut yang menyebabkan masyarakat kurang begitu paham mengenai penyakit DBD dan kurang begitu peduli terhadap penyakit tersebut yang akhirnya menjadi kurang respon terhadap program ini.

Kelebihan : Program ini sangat bermanfaat untuk menurunkan angka kematian dan kesakitan di masyarakat khususnya untuk masyarakat yang kurang mampu ( miskin ) dalam pengendalian dan penanggulangan penyakit DBD. Dilakukannya pemeriksaan ABJ oleh para jemantik dan kader, dilakukannya penyuluhan dan diberikan informasi kesehatan lingkungan kepada masyarakat akan sangat bermanfaat untuk kesadaran peduli terhadap lingkungan.


Sofi Fatonah

1500029052

Kelas C