Assalamu'alikum wr.wb
Berikut saya lampirkan tugas mata kukiah Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
2.1 KEBIJAKAN PEMERINTAH MENGENAI KESPRO
2.1.1Kebijakan Umum Kesehatan Reproduksi
Kebijakan umum kesesehatan reproduksi diantara yaitu :
1.Menempatkan upaya reproduksi menjadi salah satu prioritas Pembangunan Nasional
2.Melaksanakan percepatan upaya kesehatan reproduksi dan pemenuhan hak reproduksi ke seluruh Indonesia
3.Melaksanakan upaya kesehatan reproduksi secara holistik dan terpadu melalui pendekatan siklus hidup
4.Menggunakan pendekatan keadilan dan kesetaraan gender di semua upaya kesehatan reproduksi
5.Menyediakan pelayanan kesehatan reproduksi berkualitas bagi keluarga miskin.
2.1.2 Strategi Umum
1.Menempatkan dan memfungsikan Komisi Kesehatan Reprosuksi (KKR) pada tingkat Menteri Koordinator serta membentuk KKR di provinsi dan kabupaten/kota.
2.Mengupayakan terbitnya peraturan perundangan di bidang kesehatan reproduksi
3.Meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan komitmen politis di semua tingkat.
4.Mengupayakan kecukupan anggaran/dana pelaksanaan kesehatan reproduksi
5.Masing-masing penanggungjawab komponen mengembangkan upaya kesehatan reproduksi sesuai ruang lingkupnya dengan menjalin kemitraan dengan sektor terkait, organisasi profesi dan LSM.
6.Masing-masing komponen membuat rencana aksi mengacu pada kebijakan yang telah ditetapkan
7.Mengembangkan upaya kesehatan reproduksi yang sesuai dengan masalah spesifik daerah dan kebutuhan setempat, dengan memanfaatkan proses desentralisasi.
8.Memobilisasi sumber daya nasional dan internasioanl baik pemerintah dan non pemerintah
9.Menyediakan pembiayaan pelayanan KR melalui skema Jaminan Sosial Nasional
10.Melakukan penelitian untuk pengembangan upaya KR
11.Menerapkan Pengarus-utama Gender dalam bidang KR
12.Melaksanakan pemantauan dan evaluasi untuk kemajuan upaya KR
PENDEKATAN SEGITIGA KEBIJAKAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI
Pada empat faktor yaitu konteks, actor, proses, dan isi (konten). Para pelaku dapat dipengaruhi (sebagai seorang individu atau seorang anggota suatu kelompok atau organisasi) dalam konteks dimana mereka tinggal dan bekerja, konteks dipengaruhi oleh banyak faktor. Seperti ketidak stabilan atau ideology, dalam hal sejarah dan budaya, serta proses penyusunan kbijakan, bagaimana isi dapat menjadi menjadi agenda kebijakan, dan bagaimana isu tersebut dapat berharga yang dipengaruhi oleh pelaksana, kedudukan mereka dalam struktur kekuatan, norma dan harapan mereka sendiri. Dan isi dari kebijakan menunjukkan seluruh bagian ini. Segitiga kebijakan dapat bersifat Retrospektif yaitu meliputi evaluasi dan monitoring kebijakan) dan prospektif yaitu memberi pemikiran strategis, advokasi dan lobio kebijakan).
Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2014 merupakan peraturan yang mengatur tentang kesehatan reproduksi. Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan. Setiap orang berhak untuk mendapatkan keturunan, termasuk juga hak untuk tidak mendapatkan keturunan, hak untuk hamil, hak untuk tidak hamil, dan hak untuk menentukan jumlah anak yang diinginkan (Pasal 71 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009).
Ruang lingkup pengaturan Kesehatan Reproduksi dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi:
1. Pelayanan kesehatan ibu;
2. Indikasi kedaruratan medis dan perkosaan sebagai pengecualian atas larangan aborsi; dan
3. Reproduksi dengan Bantuan atau Kehamilan di Luar Cara Alamiah.
Penetapan peraturan ini merupakan bentuk tanggung jawab Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat atas pemberian informasi dan pelaksanaan edukasi mengenai kesehatan reproduksi bagi masyarakat khususnya generasi muda. Diantaranya informasi dan edukasi mengenai keluarga berencana dan metode kontrasepsi sangat perlu ditingkatkan. Dengan informasi dan edukasi tersebut, diharapkan dapat menurunkan kejadian premarital seks, seks bebas serta angka kehamilan yang tidak diinginkan yang dapat menjurus ke aborsi dan infeksi menular seksual termasuk penularan HIV dan AIDS.
KAJIAN SEGITIGA KEBIJAKAN :
1. Aktor
a. Pembuatan atau penyusunan Kebijakan
Kementerian Kesehatan: Mengidentifikasi status kesehatan masyarakat sebagai bahan perumusan kebijakan
Kementerian Sosial dan Kementerian Dalam Negeri: Program intervensi pengentasan kemiskinan, PNPM Generasi dan PKH
Pemerintah Pusat (Presiden Republik Indonesia) : Yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
LSM nasional dan internasional: Berperan dalam penyusunan kebijakan public termasuk pengalokasian anggaran yang bersumber dari APBD.
Dinas Kesehatan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota
Kelompok intersektoral dipimpin oleh Bappenas di tingkat pusat dan Bappeda di tingkat provinsi dan kabupaten/kota
b. Sumber Daya Keuangan
Pemerintah
Masyarakat
Sektor Swasta
c. Penyediaan layanan
Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta, Klinik, dan Praktek perorangan
LSM, yang bekerja sebagai promotif dan preventif.
2. Konteks
Dampak Kebijakan Desentralisasi di sektor kesehatan belum banyak diperhitungkan. Isu program Kesehatan Reproduksi belum diperhatikan di daerah, khususnya di kabupaten. Pemerintah pusat sudah mempunyai perhatian besar untuk Kesehatan Reproduksi, namun tidak mampu mengajak pemerintah propinsi dan kabupaten untuk memperhatikannya. Di berbagai daerah anggaran untuk Kesehatan Reproduksi masih rendah terutama di pulau jawa.
a. Konteks Situasional
Secara kontekstual terlihat bahwa Kebijakan Desentralisasi di sektor kesehatan belum banyak dipergunakan untuk kepentingan pelaksanaan kebijakan Kesehatab Reproduksi. Isu program Kesehatan Reproduksi belum diperhatikan di daerah, khususnya di kabupaten. Pemerintah pusat sudah mempunyai perhatian besar untuk Kesehatan Reproduksi, namun tidak mampu mengajak pemerintah propinsi dan kabupaten untuk memperhatikannya. Di berbagai daerah anggaran untuk Kesehatan Reproduksi masih rendah. Kebijakan Kesehatan Reproduksi terlihat hanya satu di seluruh Indonesia. Belum terlihat banyak program yang khas daerah. Hal ini terjadi karena tingkat ekonomi yang rendah, kesadaran masyarakat yang masih rendah akan pentingnya kesehatan reproduksi.
b. Konteks Struktural
Kebijakan desentralisasi dipicu oleh tekanan politik selama masa reformasi. Dalam sebuah situasi yang tidak siap, desentralisasi membawa dampak negative pada sektor kesehatan seperti kegagalan system, kurangnya koodinasi, sumber daya yang tidak mencukupi, jenjang karir sumber daya manusia yang buruk, dan pengaruh politik yang berlebihan. Dengan adanya Peraturan Kementrian Kesehatan ini telah menyatukan seluruh peraturan – peraturan sehingga tidak terjadi tumpang tindih dan tepat sasaran. Dan Peraturan Menteri Keuangan yang disusun dengan lintas kementrian ini menunujukkan bahwa pentingnya sistem rujukan.
c. Konteks Budaya
Budaya memegang peranan penting sebagai faktor penentu peningkatan derajat kesehatan khususnya kesehatan reproduksi dan kualitas sumber daya manusia. Misalkan dukungan desa yang kurang terhadap program kesehatan, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat terutama ibu serta kader kesehatan sehingga tidak maksimal dalam upaya perbaikan program, faktor budaya dalam membuat keputusan selalu melibatkan keluarga besar sehingga untuk melakukan tindakan cepat terkendala. tidak meratanya pelatihan terhadap bidan, fasilitas kesehatan yang kurang memadai, penguasaan bahasa dan budaya setempat yang masih kurang oleh petugas kesehatan, kurang adanya info kesehatan yang ada bagi bidan didesa, dan kurangnya akses informasi kesehatan.
d. Konteks Internasional
Peraturan – peraturan ini muncul adalah bagian dari keikutsertaan Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan dan meningkatkan derajat kesehatan dunia melalui kerjasama lintas Negara dan ikut dalam organisasi WHO sebagai organisasi yang fokus terhadap permasalahn kesehatan dunia.
3. Proses
Setelah mengidentifikasi masalah dan isu mengenai pentingnya kesehatan reproduksi maka pemerintah dan pihak – pihak yang terlibat dapat merumuskan kebijakan mengenai Kesehatan Reproduksi tersebut. Kebijakan ini dirumuskan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam Peraturan Pemerintah No.61 tahun 2014 yang mengacu pada:
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063).
a. Identifikasi Masalah dan Isu
Publik Indonesia kembali kecolongan. Euforia masyarakat yang menanti calon presiden terpilih, dimanfaatkan pemerintah untuk mengeluarkan peraturan pro aborsi. Secara diam-diam pada tanggal 21 Juli 2014 lalu SBY telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Peraturan itu disahkan demi melaksanakan ketentuan Pasal 74 ayat (3), Pasal 75 ayat (4), Pasal 126 ayat (3), dan Pasal 127 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Kontroversi timbul karena pasal 31 ayat (2) PP itu mengatur kebolehan aborsi bagi perempuan hamil yang diindikasikan memiliki kedaruratan medis dan atau hamil akibat perkosaan, sesuai materi pasal 75 ayat (1) UU Kesehatan. Yang dimaksud indikasi kedaruratan medis meliputi kehamilan yang mengancam nyawa dan kesehatan ibu dan/atau janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan. Sedangkan aborsi akibat perkosaan dibolehkan dengan alasan dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban.
Rasa religiusitas publik Indonesia belum bisa menerima aborsi, sekalipun terhadap korban perkosaan. Bahkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak menjalankan PP itu. Ketua Umum Pengurus Besar (PB) IDI, Zaenal Abidin, menyatakan, "Berdasarkan Sumpah Dokter butir 6 dan Kode Etik Kedokteran pasal 11, tindakan aborsi untuk indikasi selain medis jelas bertentangan dengan Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran. Tujuannya adalah untuk menyelamatkan nyawa, namun ada beberapa kondisi yang juga dilonggarkan. Alasan tersebut bisa dimanfaatkan oleh perempuan yang stres karena kehamilan yang tidak direncanakan untuk melakukan aborsi. Di sisi lain, aturan itu bakal mempidanakan dokter yang menjalankan praktek aborsi sesuai pasal 349 KUHP karena menghilangkan nyawa orang lain.
Bahaya Legalisasi Aborsi. Keresahan seorang dokter setidaknya telah mewakili ketidakpercayaan masyarakat terhadap produk hukum Indonesia yang penerapannya seringkali menyimpang dari makna tekstualnya. Dalam kasus perkosaan, keutuhan barang bukti korban perkosaan amat sulit ditemukan. Setelah kejadian yang mengerikan itu biasanya korban akan merasa jijik dan segera mencuci dirinya bersih-bersih. Sehingga aparat akan sulit membuktikan permintaan aborsi apakah dikarenakan perkosaan atau pergaulan bebas.
Apalagi realitas di Indonesia menunjukkan aborsi bukan lagi perkara tabu untuk dilakukan pelaku pergaulan bebas. Pada sebuah seminar yang dilakukan BKKBN dan Pusat Unggulan Asuhan Terpadu Kesehatan Ibu dan Bayi (PU-ATKIB), Universitas Indonesia pada 9 Agustus 2014, Direktur PU-ATKIB, Prof Biran Affandi SpOG (K), FAMM menyajikan data sekitar 2,1-2,4 juta perempuan setiap tahun diperkirakan mela kukan aborsi, 30 persen di antaranya remaja. Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN, dr Julianto Witjaksono SpOG, KFER, MGO juga mengungkapkan sebuah realitas yang cukup mengejutkan. Sekitar 46 persen remaja berusia 15-19 tahun belum menikah sudah berhubungan seksual.
b. Perumusan Kebijakan
Pemerintah memang telah melakukan kekeliruan yang sangat besar. Realitas pergaulan bebas yang merebak di kalangan kaum muda, justru disikapi dengan melegalisasi aturan yang makin memperparah keadaan. Sebenarnya penerbitan PP no 61/2014 bukan melulu tentang aborsi. Namun esensi PP ini adalah komitmen pemerintah untuk memberikan perangkat hukum terhadap kesehatan reproduksi, termasuk berkaitan dengan hak perempuan untuk menentukan kehamilan yang terjadi dirinya. Tentu saja dampaknya akan jauh lebih besar dibandingkan dengan "hanya sekedar aborsi".
Pemerintah memang berada dalam posisi 'dipaksa' untuk mengadopsi kepentingan global, sehingga hilang kedaulatannya untuk berkata "tidak" pada hal-hal yang bertentangan dengan prinsip hidup sebagai bangsa beragama. Melalui mekanisme hubungan politik Global Governance, 'aktor transnasional' (negara/pemerintahan, lembaga, korporasi atau individu lintas negara) tak henti-hentinya bekerja bersama untuk mem-format Indonesia masa depan. Semua berawal dari potensi sumber daya dan geostrategis Indonesia yang sungguh luar biasa. Penjajahan gaya baru yang sudah berlangsung sejak Indonesia merdeka, belum berhasil mengeksploitasi potensi Indonesia secara habis-habisan. Karena itu berbagai strategi baru harus dijalankan agar mampu menguasai seluruh potensi itu. Namun kemusliman mayoritas penduduk Indonesia masih menjadi penghalang yang cukup signifikan untuk melakukan penjajahan, terutama dalam menerima nilai-nilai universal kapitalis sekuleris. Problem ini harus ditangani secara teliti, agar tidak menjadi ancaman namun sebaliknya akan menjadi kekuatan yang akan menguntungkan program-program imperialisme.
Imperialisme politik-ekonomi makin menemukan muaranya dalam sistem demokrasi. Mengatasnamakan rakyat, berbagai regulasi disusun pemerintah dan legislator untuk mengokohkan agenda penjajahan Barat. Dalam arus inklusifitas yang menuntut keterlibatan setiap orang dalam proses pembangunan, program yang menjadikan perempuan sebagai sasaran utama masih menjadi menu andalan Barat. Sebagaimana program keadilan dan kesetaraan gender (KKG) dan pemberdayaan ekonomi perempuan (PEP), program kontrol populasi menjadi strategi unggulan untuk menanamkan nilai-nilai kapitalis sekularis yang liberal.
Dalam kebijakan kontrol populasi, secara khusus pemerintah mengacu pada Programme of Action (PoA) yang diputuskan dalam International Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo pada 5–13 September 1994. Konferensi yang dipandu United Nations Population Fund (UNFPA) itu memang membahas secara khusus topik perlindungan bagi perempuan dari aborsi yang tidak aman, selain masalah pengendalian kelahiran, keluarga berencana, pendidikan perempuan, dan berbagai masalah kependudukan. PoA didasari oleh gagasan bahwa perlu dilakukan upaya peningkatan status sosial, ekonomi, politik dan kesetaraan bagi perempuan, termasuk dalam hak kesehatan seksual dan reproduksi (sexual and reproductive health and rights /SRHR). Konsep SRHRdipandang sebagai salah satu kemajuan ICPD, mengingat pembahasan tentang aborsi telah menuai kritik pedas dari negara-negara muslim dan Vatikan.
Rekomendasi itu diterjemahkan dalam Pasal 26 Ayat (2) PP dengan penyesuaian terhadap kondisi Indonesia. Pasal itu menegaskan bahwa setiap perempuan berhak menjalani kehidupan seksual yang sehat secara aman, tanpa paksaan dan diskriminasi, tanpa rasa takut, malu, dan rasa bersalah. Kehidupan seksual yang sehat sebagaimana dimaksud meliputi kehidupan seksual yang: (a). Terbebas dari infeksi menular seksual; (b). Terbebas dari disfungsi dan gangguan orientasi seksual; (c). Terbebas dari kekerasan fisik dan mental; (d). Mampu mengatur kehamilan; dan (e). Sesuai dengan etika dan moralitas.
c. Pelaksanaan Kebijakan
Setelah ditetapkannya Perpres No 61 Tahun 2014, Komunikasi, informasi, dan edukasi diberikan sesuai kebutuhan berdasarkan siklus kehidupan manusia karena setiap tahapan kehidupan membutuhkan penanganan sistem reproduksi yang khas, dimulai dari masa remaja dan usia subur. Dengan melakukan beberapa penanganan, yaitu salah satunya adalah Yang dimaksud dengan "rehabilitasi psikososial" merupakan penanganan terhadap korban untuk dapat kembali ke masyarakat dengan cara memulihkan status mental ke kondisi semula melalui konseling, pendampingan, kunjungan rumah, dan penyediaan rumah aman (shelter). Sehingga dengan kerja sama dari pihak pihak yang terkait maka bangsa Indonesia sedikit demi sedikit akan meningkatkan derajad kesehatan serta kualitas hidup masyarakat.
4. Isi (konten)
Dalam rangka memberikan kepastian hukum, perlindungan hukum, serta menata konsep-konsep yang berhubungan dengan hukum yang mengatur penyelenggaraan reproduksi dengan bantuan, aborsi berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan perkosaan pada tindakan aborsi, pelayanan kesehatan ibu serta penyelenggaraan kehamilan di luar cara alamiah agar berjalan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa baik dari segi agama, moral, etika, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perlu mengatur penyelenggaraan Kesehatan Reproduksi dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah ini mengatur : (1) Tanggung jawab Pemerintah dan pemerintah daerah; (2) Pelayanan kesehatan ibu; (3) Indikasi kedaruratan medis dan perkosaan sebagai pengecualian atas larangan aborsi; (4) Reproduksi dengan bantuan atau kehamilan di luar cara alamiah; (5) Pendanaan; dan (6) Pembinaan dan pengawasan.
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas pemberian informasi dan pelaksanaan edukasi mengenai kesehatan reproduksi bagi masyarakat khususnya generasi muda. Diantaranya informasi dan edukasi mengenai keluarga berencana dan metode kontrasepsi sangat perlu ditingkatkan. Dengan informasi dan edukasi tersebut, diharapkan dapat menurunkan kejadian premarital seks, seks bebas serta angka kehamilan yang tidak diinginkan yang dapat menjurus ke aborsi dan infeksi menular seksual termasuk penularan HIV dan AIDS.
Perilaku berisiko lain yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi antara lain penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (Napza) dan perilaku gizi buruk yang dapat menyebabkan masalah gizi khususnya anemia. Huruf b Upaya mempersiapkan remaja untuk menjalani kehidupan reproduksi yang sehat dan bertanggungjawab meliputi persiapan fisik, psikis, dan sosial untuk menikah dan hamil pada usia yang matang.
KESIMPULAN
Peraturan Pemerintah No.61 tahun 2014 merupakan salah satu kebijakan kesehatan yang terintegrasi dalam rangka menjamin kesehatan masyarakat Indonesia. Simpulan dalam makalah ini dalam pendekatan segitiga kebijakan tentang Peraturan Presiden No.61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi adalah:
Jadi, dalam segi actor penyusun kebijakan dilakukan oleh kementrian Kesehatan, Kementrian Sosial, Pemerintah Pusat, LSM nasional maupun Internasional, Dinas Kesehatan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dan sumber daya keuangannya dikelolah oleh pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Serta penyediaan layanannya terdapat di Rumah Sakit Pemerintah dan Swasta, Klinik, dan Praktek perorangan, sedangkan LSM membantu bekerja sebagai promotif dan preventif.
Dalam segi konteks, Peraturan Pemerintah No.61 tahun 2014 di maksudkan untuk menjamin kesehatan masyarakat dari segi faktor situasional, structural, budaya, maupun internasional.
Dalam segi Proses, Peraturan Pemerintah No.61 tahun 2014, disusun atas isu permasalahan yang terjadi di Indonesia dan perumusan kebijakan tersebut, serta pelaksanaan kebijakan selanjutnya.
Dalam segi isi, peraturan Pemerintah No.61 tahun 2014 berisi penjelasan bahwa Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung jawab atas pemberian informasi dan pelaksanaan edukasi mengenai kesehatan reproduksi bagi masyarakat khususnya generasi muda. Diantaranya informasi dan edukasi mengenai keluarga berencana dan metode kontrasepsi sangat perlu ditingkatkan.
Sekian. Wassalamu'alaikum wr.wb.
Nama : Rachmadiyanti Dwi Aulia
Semt. : IV
Kelas : A