JAMPERSAL
Analisis Kebijakan Jaminan Persalinan Berdasarkan Pendekatan Segitiga Kebijakan
1. CONTEXT
Tingginya Angka kematian ibu (AKI) dan Angka kematian Bayi (AKB) di Indonesia dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, menjadi perhatian bagi Pemerintah. Untuk mempercepat penurunan AKI dan AKB yang masih tinggi tersebut, pemerintah memiliki kewajiban untuk menerapkan suatu kebijakan publik, yakni dengan pemberian Jaminan Persalinan yang merupakan perluasan kepesertaan dari Jaminan kesehatan masyarakat (JAMKESMAS) dan tidak hanya mencakup pada masyarakat miskin saja.
Dampak kebijakan desentralisasi di sektor kesehatan belum banyak diperhitungkan. Isu program KIA belum diperhatikan di daerah, khususnya di kabupaten. Pemerintah pusat sudah mempunyai perhatian besar untuk KIA, namun tidak mampu mempengaruhi pemerintah propinsi dan kabupaten untuk memperhatikannya. Di berbagai daerah anggaran untuk KIA masih rendah. Kebijakan KIA terlihat hanya satu di seluruh Indonesia. Perbedaan tempat kematian ibu dan bayi dimana di pulau Jawa sebagian besar berada di rumahsakit belum diperhatikan.
2. CONTENT
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2562/MENKES/PER/XII/2011 Tentang Petunjuk Teknis Jaminan Persalinan, Jampersal merupakan produk kebijakan publik yang diciptakan oleh pemerintah sebagai bentuk dari tanggung jawab pemerintah dalam hal peningkatan kesejahteraan masyarakat di bidang kesehatan untuk mencapai target MDGs (Millennium Development Goals). Oleh karena itu, Jampersal dimaksudkan untuk memberikan pembiayaan persalinan serta penjarangan kehamilan dan pembatasan kehamilan menjadi bagian penting yang tidak terpisahkan dari Jampersal sehingga pengaturan mengenai Keluarga Berencana yang selanjutnya disingkat KB dapat berjalan. Lewat program tersebut diharapkan hambatan biaya bagi ibu untuk mengakses fasilitas dan tenaga kesehatan terpecahkan sehingga angka kematian ibu dan anak menurun.
3. PROSES
A. Masalah
1. Kebanyakat masyarakat desa lebih memilih melahirkan ke dukun dari pada memalui tenaga kesehatan
2. Faktor ekonomi yang rendah di indonesia
3. Standar pelayanan medis kurang spesifik.
4. Ketidakseimbangan antara jumlah pasien dengan fasilitas yang tersedia.
B. Implementasi
1. Meningkatkan advokasi pada tingkat pemerintah daerah provinsi dan kabupaten tentang betapa besarnya pengaruh kematian ibu ini dengan indeks pembangunan manusia masa depan di daerahnya.
2. Perbaikan kualitas SDM kesehatan melalui pelatihan dalam membantu proses persalinan khususnya di fasilitas kesehatan seperti Puskesmas.
3. Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi (Monev) terhadap program KIA yang dilaksanakan.
4. Perbaikan komunikasi dan koordinasi. Dalam menjalankan kebijakan KIA perlu adanya komunikasi dan koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang efektif (tidak ada anggapan pemerintah pusat adalah raja dan pemerintah daerah hanya sebagai pengikut)
5. Salah satu syarat turunnya AKI adalah "Penjarangan kelahiran". Untuk mendorong upaya ini, perlu ada data penelitian mengenai proporsi meninggalnya ibu saat melahirkan: anak pertama, dengan anak berikutnya (ke dua dst) untuk usia dan kondisi ibu yang kira-sama (misal bukan primi muda, primi tua, grande-multipara)
C. Evaluasi
1. Menambah alokasi anggaran kesehatan untuk program UKM bidang KIA, terutama mengenai klaim Jampersal. Penambahan nominal klaim dan penggantian klaim tidak terlambat diserahkan kepada para bidan.
2. Mempererat kerja sama lintas sektoral dan antar SKPD baik di tingkat kabupaten/ kota maupun tingkat provinsi.
3. Regulasi sistem rujukan dari bidan ke Rumah Sakit.
4. Pemberian pembatasan tertentu bagi pemanfaatan Jampersal, sehingga pemanfaatannya tidak overload dan tidak menciptakan kerugian di aspek lain.
5. Mengadakan sosialisasi program Jampersal kepada masyarakat dengan melibatkan kader-kader kesehatan setempat
6. Melibatkan peran aktif masyarakat dalam menurunkan MMR dan IMR, salah satunya adanya kemitraan bidan-dukun dalam pertolongan persalinan
ACTOR
Kebijakan selama ini menimbulkan situasi dimana banyak pelaku di pelayanan primer dan pencegahan namun masih kurang di aspek klinis. Hal ini terjadi karena selama puluhan tahun kebijakan dan program KIA aktif dikelola oleh DitJen BinKesmas. Sementara pelaku di rumahsakit yang dikelola oleh DitJen Pelayanan Medik belum begitu aktif (sebelum reorganisasi Kemenkes yang menghasilkan DitJen Bina Upaya Kesehatan). Profesi yang paling banyak menjadi obyek kebijakan adalah bidan. Dokter Spesialis dan dokter umum, serta perawat kurang berperan. Kepemimpinan dokter spesialis dalam pengurangan kematian belum banyak ditekankan. Peran dokter umum terkesan dikesampingkan. Tidak ada tenaga ahli manajemen untuk perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring-evaluasi program KIA. Kerjasama lintas sektor untuk promosi dan pencegahan hulu belum maksimal. Para pelaku promosi dan pencegahan yang lintas sektor belum banyak memberikan kontribusi.
Nama : Triyani
Kelas : A