Tuesday, May 23, 2017

isu isu kesehatan perempuan tentang pelecehan seksual

 Seorang siswi kelas III salah satu SMA negeri di Matraman, Jakarta Timur, menjadi korban pelecehan seksual oleh gurunya berinisial T (46). Dengan menggunakan sejumlah ancaman, siswi berinisial MA itu dipaksa oleh T untuk melakukan oral seks sebanyak empat kali. Peristiwa ini terjadi sejak tahun 2012 dan di laporkan ke polda metro jaya pada 9 Februari 2012. MA mengaku tidak bisa melawan tindakan bejat sang guru sebab T selalu mengancam akan mempersulit dikeluarkannya nilai kelas dan ijazah sekolah jika korban memberitahukan peristiwa itu ke orang lain kemudian korban diberi uang 50.000 setiap kali selesai melakukan oral, uang tersebut sebagai ongkos transport.  Setelah melakukan pemeriksaan belasan saksi dan juga melakukan gelar perkara bersama kejaksaan, kepolisian akhirnya menetapkan T sebagai tersangka kasus pelecehan dalam bentuk seks oral pada Senin 8 April 2013. Dalam kasus ini Hakim menyatakan bahwa Taufan (T) terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman 4 tahun penjara serta denda Rp 60 juta. Hukuman ini merujuk pada Pasal 82 KUHP dan secara sah terbukti bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja menyuruh anak di bawah umur melakukan tindakan asusila. Sebelumnya pihak sekolah sudah dua kali meminta pihak keluarga korban untuk mencabut laporan dan menyelesaikan secara damai karena istri terdakwa sedang hamil.
Dampak pelecehan seksual bagi pelajar lebih dari apa yang bisa kita bayangkan. Stephen J. Sossetti dengan tepat mengatakan bahwa "dampak pelecehan seksual pada pelajar  adalah membunuh jiwanya". Bagaimana tidak, luka pelecehan itu akan dibawa terus oleh seorang anak hingga ia dewasa, menjadi luka abadi yang sulit dihilangkan.
Dampak Psikologis Pelecehan Seksual Menurut Collier (1992), dampak-dampak psikologis pelecehan seksual tergantung pada :
1.      Frekuensi terjadi pelecehan : semakin sering terjadi, semakin dalam pula luka yang ditimbulkan.
2.      Parah tidaknya (halus atau kasar, taraf) semakin parah tindak pelecehan seksual dan semakin tindakan tersebut menghina martabat dan integritas seseorang, semakin dalam pula luka yang ditimbulkan, apalagi jika menyangkut keluarga korban.
3.      Apakah secara fisik juga mengancam atau hanya verbal : semakin tindakan pelecehan ini dirasakan mengancam korban secara fisik, lebih dalam dampak dan luka yang ditimbulkan. Bila pelecehan seksual dilakukan dengan ancaman pemecatan dan korban tidak yakin mampu menemukan pekerjaan lain, maka dampak psikologis akan lebih besar.
4.      Apakah menggangu kinerja pekerja : bila ya, maka akan disertai dengan rasa frustasi. Ini tentunya juga tergantung seberapa parah dan jauh pelecehan itu mengganggu kinerja korban. Semakin parah gangguan yang dialaminya, semakin tinggi taraf frustasi dan semakin parah kerusakan psikologisnya.
Secara umum, menurut Kelly (1998) dampak utama psikologis pelecehan seksual yang paling sering tampil adalah:
1.      Jengkel, senewen, marah, stress hingga breakdown
2.      Ketakutan, frustasi, rasa tidak berdaya dan menarik diri
3.      Kehilangan rasa percaya diri
4.      Merasa berdosa atau merasa dirinya sebagai penyebab
5.      Kebencian pribadi hingga generalisasi kebencian pada pelaku atau mereka dari jenis kelamin yang sama dengan pelaku.
Menurut Rumini & Sundari (2004) wanita yang mengalami pelecehan seksual dapat mengalami akibat fisik seperti gangguan perut, nyeri tulang belakang, gangguan makan, gangguan tidur rasa cemas dan mudah marah.Sedangkan akibat psikologis ynag dirasakan antara lain adalah perasaan terhina, terancam dan tidak berdaya. Hasil ini diperkiat oleh penelitian Goodman (dalam Rumini & Sundari, 2004) yang menyatakan bahwa wanita korban pelecehan seksual sebagian besar mengalami simtom-simtom fisik dan stress emosional. Beberapa peneliti mencoba menyimpulkan akibat dari pelecehan seksual pada kehidupan perempuan dan kesejahteraannya dapat diperiksa dari tiga perspektif utama yaitu yang berkaitan dengan pekerjaan atau pendidikan, faktor psikologis dan fisik yang berkaitan dengan masalah kesehatan (Basri, 1994)

Pelecehan dapat dilakukan oleh siapa saja baik laki-laki maupun perempuan. Namun sebagian besar pelaku kasus pelecehan seksual adalah laki-laki. Dari kasus pelecehan siswa SMA matraman tersebut jika dilihat dari bentuk pelecehannya menurut Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadi (2001) termasuk dalam
1.     Gender Harassment yaitu pernyataan atau tingkah laku yang bersifat merendahkan berdasarkan jenis kelamin. Di Indonesia yang pada umumnya menganut garis keturunan berdasarkan garis bapak (Patrilineal) menganggap laki-laki lebih berkuasa dan perempuan adalah makhluk yang lemah. Dalam kasus ini T merasa dirinya lebih berkuasa daripada MA sehingga dengan mudah melakukan pelecehan seksual tersebut.
2.     Sexual Bribery yaitu penyuapan untuk melakukan hal yang berbau seksual dengan memberikan janji akan suatu ganjaran. Hal ini terlihat ketika setelah MA melakukan aksinya sang guru memberinya uang senilai 50.000 sebagai ongkos transport.
3.     Sexual Coercion yaitu tekanan yang disertai dengan ancaman untuk melakukan hal-hal yang bersifat seksual. Yaitu ketika MA menolak perintah T, T mengancam tidak akan mengeluarkan Ijazah dan mempersulit nilai MA, hal ini jelas termasuk dalam kategori tekanan dan ancaman.
Seseorang dapat melakukan pelecehan seksual karena hal-hal sebagai berikut :
1.     Lingkungan sosialnya.
2.     Suasana sekitar yang mendukung.
3.     Memiliki kekuasaan yang lebih tinggi.
4.     Stres terhadap perkawinannya.
5.     Mengalami penurunan moral.
6.     Memiliki perilaku seks yang menyimpang.
7.     Kurangnya peraturan hukum yang ada.
nama : sintia larasati
nim    : 1500029294