Tuesday, May 23, 2017

evaluasi kebijakan tentang pelecehan seksual terhadap perempuan

Meskipun kekerasan seksual terjadi secara berulang dan terus menerus, namun tidakbanyak masyarakat yang memahami dan peka tentang persoalan ini. Kekerasan seksualseringkali dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan semata. Pandangan semacam inibahkan didukung oleh negara melalui muatan dalam Kitab Undang-Undang HukumPidana (KUHP). Dalam KUHP kekerasan seksual seperti perkosaan dianggap sebagaipelanggaran terhadap kesusilaan.Pengkategorian ini tidak saja mengurangi derajat perkosaan yang dilakukan, namun juga menciptakan pandangan bahwa kekerasan seksual adalah persoalan moralitas semata.
Peristiwa kekerasan seksual seringkali juga direkatkan pada penilaian tentang "jejak moralitas" perempuan korban. Perempuan korban dituduh sebagai penyebab atau pemberi peluang terjadinya kekerasan seksual karena cara berpakaiannya, bahasa tubuhnya, cara ia berelasi sosial, status perkawinannya, pekerjaannya, atau karena keberadaannya pada sebuah waktu atau lokasi tertentu. Dalam konteks ini pula, korban kerap dituduh membiarkan peristiwa kekerasan tersebut ketika ia dianggap tidak berupaya untuk melawan pelaku, menempatkan dirinya terus-menerus gampang direngkuh pelaku, ataupun terbuai dengan iming-iming pelaku.

Landasan hukun untuk jaminan perlindungan dari tindak kekerasan seksual
Nasional
1.      Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 285, 286 287, 290, 291
2.      UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) Pasal 8(b), 47, 48
3.      UU No 21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pasal 1 (3,7)
4.      UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1(15), 17(2), 59 dan 66 (1,2), 69, 78 dan 88
Internasional
1.      Statuta Roma Pasal 7 ayat 2 (g), Pasal 69 ayat 1&2, Pasal 68
2.      Resolusi PBB 1820 tentang Kekerasan Seksual dalam Konflik Bersenjata
3.      Deklarasi penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan (ICPD) pada bulanDesember 1993
4.      Deklarasi Wina Tahun 1993

Meskipun sudah ada landasan hukum tentang pelecehan seksual terhadap perempuan tetapi masih sangat banyak pelecehan seksual yang terjadi. Pelecehan seksual terhadap perempuan paling banyak terjadi ditempat-tempat umum. Pandangan bahwa kekerasan seksual hanya sebagai kejatahan kesusilaan juga tidak terlepas dari ketimpangan relasi yang menempatkan perempuan sebagai marka atau penanda kesucian dan moralitas dari masyarakatnya. Inilah sebabnya seringkali pembahasan tentang moralitas berujung pada pertanyaan apakah perempuan masih perawan atau tidak sebelum pernikahannya, apakah perempuan melakukan aktivitas seksual hanya dalam kerangka perkawinan, dan sejauh mana perempuan memendam ekspresi seksualitasnya dalam keseharian interaksi sosialnya. Akibatnya, banyak sekali perempuan yang merasa malu untuk menceritakan pengalaman kekerasan seksual karena malu atau kuatir dianggap "tidak suci" atau "tidak bermoral". Sikap korban membungkam justru pada banyak kesempatan didukung, bahkan didorong oleh keluarga, orang-orang terdekat, dan masyarakat sekitarnya.
            Konteks moralitas ini pula yang menjadikan kekerasan seksual lebih sering dipahami sebagai pelanggaran terhadap kesusilaan semata. Di satu sisi, pemahaman sebagai masalah kesusilaan menyebabkan kekerasan seksual dipandang kurang penting dibandingkan dengan isu-isu kejahatan lainnya seperti pembunuhan ataupun penyiksaan. Padahal, pengalaman perempuan korban kekerasan seksual menunjukkan bahwa kekerasan seksualdapat menghancurkan seluruh integritas hidup korban sehingga ia merasa tidak mampu melanjutkan hidupnya lagi.