Permasalahan mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi bagi perempuan penyandang disabilitas (different ability) hingga saat ini masih menyisakan berbagai perdebatan terutama apabila dikaitkan dengan kebijakan negara dalam merespon isu ini. Di satu sisi, meskipun negara telah meratifikasi konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas melalui UU No.19 tahun 2011, namun implementasi dari regulasi ini masih jauh dari efektif.
Perempuan difabel bisa dikatakan sebagai kelompok penyandang disabilitas yang mempunyai hambatan berlapis-lapis seperti tidak mengerti bagaimana merawat organ reproduksi, sehingga berpengaruh pada kesehatannya. dibandingkan dengan laki-laki penyandang disabilitasnya tidak hanya mengalami hambatan karena disabilitas yang disandangnya.
Bagi perempuan Kontrol terhadap organ reproduksi masih sangat rendah, sehingga mereka mengalami kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan yang tidak dikehendaki. Beberapa kasus dalam penelitian ini menunjukkan bahwa penyandang disabilitas yang mengalami kekerasan seksual tidak mendapatkan keadilan, karena pernyataan mereka tidak dapat diterima secara hukum legal, anggapan tidak berdaya,selalu tergantung pada orang lain, dan tidak bisa membuat keputusan. Perempuan dengan disabilitas bahkan dipandang tidak mampu menjadi istri dan ibu bagi anaknya, dan ini diperkuat oleh stigma masyarakat yang memberi cap pada mereka sebagai orang gila. Oleh karena itu di bentuklah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa pengadilan dapat mengizinkan suami beristri lebih dari satu apabila istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
NAMA : LAURANURUL CHOLIDA NI'MAH
KELAS : A