A. IMS dan ISR termasuk HIV/AIDS merupakan penyakit yang berhubungan dengan perkembangan budaya. Proporsi penderita HIV/AIDS (20-29 tahun) lebih dari separuhnya, artinya infeksi HIV terjadi pada masa remaja (terutama dengan factor risiko NAPZA suntik). Dikaitkan dengan jumlah remaja seperlima jumlah penduduk Indonesia, ini menggambarkan rentannya usia remaja terhadap ISR maupun IMS yang berkaitan dengan perilaku, karena terjadi akibat hubungan seksual yang tidak aman.
B. Tanda dan Gejala IMS/ISR. Berdasarkan tanda-tanda dan gejala klinis yang ditimbulkan oleh IMS/ISR, dapat dibedakan menjadi : 1) IMS yang ditandai dengan keluarnya cairan berwarna putih, kuning atau kehijauan seperti nanah dari alat kelamin, yaitu : gonore, uretritis atau servitis non spesifik, kandidiasis, bacterial vaginosis dan trikomoniasis. (2) IMS yang ditandai dengan adanya luka/koreng di alat kelamin, yaitu sifilis, ulkus molie, limpogranuloma venerium, granuloma inguinale dan herpes genitalis. (3) IMS yang ditandai dengan adanya tumbuhan seperti kutil atau jengger ayam pada alat kelamin, yaitu moluskus kontangiosum dan kondiloma akuminata. (4) Selain tanda-tanda tersebut, IMS yang lebih lanjut sering disertai dengan tanda-tanda benjolan atau pembengkakan kelenjar pada lipat paha , pembengkakan buah zakar pada laki-laki, serta nyeri perut bawah pada wanita.
C. Analisis segitiga kebijakan kesehatan Reproduksi
1. Aktor
Pembuatan atau penyusunan Kebijakan :
a) Kementerian Kesehatan: Mengidentifikasi status kesehatan masyarakat sebagai bahan perumusan kebijakan Kementerian Sosial dan Kementerian Dalam Negeri: Program intervensi pengentasan kemiskinan, PNPM Generasi dan PKH
b)Pemerintah Pusat (Presiden Republik Indonesia) : Yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
c) LSM nasional dan internasional: Berperan dalam penyusunan kebijakan public termasuk pengalokasian anggaran yang bersumber dari APBD.
d)Dinas Kesehatan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota
e)Kelompok intersektoral dipimpin oleh Bappenas di tingkat pusat dan Bappeda di tingkat provinsi dan kabupaten/kota
2. Konteks
a.Konteks Situasional
Isu program Kesehatan Reproduksi belum diperhatikan di daerah, khususnya di kabupaten. Pemerintah pusat memiliki perhatian besar untuk Kesehatan Reproduksi, namun tidak mampu mengajak pemerintah propinsi dan kabupaten untuk memperhatikannya. Di berbagai daerah anggaran untuk Kesehatan Reproduksi masih rendah. Kebijakan Kesehatan Reproduksi terlihat hanya satu di seluruh Indonesia. Belum terlihat banyak program yang khas daerah. Hal ini terjadi karena tingkat ekonomi yang rendah, kesadaran masyarakat yang masih rendah akan pentingnya kesehatan reproduksi.
b.Konteks Struktural
Dengan adanya Peraturan Kementrian Kesehatan telah menyatukan seluruh peraturan – peraturan sehingga tidak terjadi tumpang tindih dan tepat sasaran. Dan Peraturan Menteri Keuangan yang disusun dengan lintas kementrian ini menunjukkan bahwa pentingnya sistem rujukan.
c.Konteks Budaya
Budaya memegang peranan penting sebagai faktor penentu peningkatan derajat kesehatan khususnya kesehatan reproduksi. Misalkan dukungan desa yang kurang terhadap program kesehatan, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat terutama ibu serta kader kesehatan sehingga tidak maksimal dalam upaya perbaikan program, faktor budaya dalam membuat keputusan selalu melibatkan keluarga besar sehingga untuk melakukan tindakan cepat terkendala.
d.Konteks Internasional
Peraturan – peraturan muncul karena bagian dari keikutsertaan Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan dan meningkatkan derajat kesehatan dunia melalui kerjasama lintas Negara.
Pemerintah harus mengambil tindakan untuk segera meningkatkan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan. Kebijakan untuk memberikan fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi bagi perempuan dan remaja harus segera diberikan. Selain itu, kebijakan anggaran kesehatan, khususnya kesehatan perempuan pun harus menjadi komitmen pemerintah untuk menjalankan amanah Undang-Undang Kesehatan. Semakin lambat kebijakan tersebut diberikan dapat dipastikan angka KTD dan AKI di Indonesia akan terus meningkat. Rekomendasi untuk pelayanan kesehatan pasca 2015 di Indonesia.
NAMA : MELINDA OKTAVIANI
KELAS : A