Wednesday, May 24, 2017

analisis kebijakan tentang kanker serviks

Kebijakan mengenai pengendalia kanker serviks di Indonesia di atur didalam Undang Undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 pada Pasal 161 ayat 3 yang menyebutkan bahwa manajemen pelayanan kesehatan berupa promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif dititik beratkan pada deteksi dini dan pengobatan penyakit tidak menular. Selain itu juga ada Kepmenkes Nomor 430 tahun 2007 tentang pedoman pengendalian penyakit kanker dan Kepmenkes Nomor 796 tentang Pedoman Teknis Pengendalian Kanker Payudara dan Kanker Leher Rahim. Pada prinsipnya isi kebijakan deteksi dini kanker di Indonesia mengacu pada kebijakan WHO yang melakukan pencegahan dan pengendalian kanker serviks melalui empat komponen utama yaitu primary prevention, early detection, diagnosa dan treatment serta palliative care of advance disease.

Kebijakan pengendalian kanker serviks yang telah ada di Indonesia dapat dilihat hasil dan dampaknya melalui implementasi kebijakan pengendalian kanker serviks melalui program-program yang telah di rencanakan dengan melakukan suatu analisis kebijakan kesehatan, apakah telah sesuai dengan tujuan kebijakan kesehatan yang telah dibuat oleh para pembuat kebijakan.
Beberapa penyebab tingginya insiden dan motalitas kanker serviks adalah kurangya kesadaran memahami kanker serviks diantara masyarakat, petugas kesehatan dan para pembuat kebijakan. Tidak ada atau kurangnya kualitas program skrining dan terlambatanya mendiagnosa kanker serviks yang telah berada pada stadium lanjut pada wanita yang tidak pernag di skrining. Keterbatasan akses pada sarana kesehatan dan kurangnya fungsi sistem rujukan.


Implementasi kebijakan pengendalian kanker serviks di Indonesia ini masih menitikberatkan pada upaya pencegahan sekunder melalui deteksi dini kanker serviks melalui skrining dengan menggunakan metode Inspeksi Visual Asam Asetat (Tes IVA) pada perempuan yang dianggap beresiko tinggi. pencegahan primer dilakukan dengan mengurangi faktor resiko terinfeksi HPV dan pemberian vaksin HPV. Sedangkan pencegahan tersier  adalah diagnosa dan pengobatan kanker serviks serta perawatan palliatif untuk meningkatkan angka hidup 5 tahun. Pelaksanaan pencegahan kanker serviks  membutuhkan monitoring dan evaluasi di setiap negara dan pembuat kebijakan bertanggung jawab untuk mengalokasikan sumber daya tidak saja skrining kanker serviks tetapi juga program survailance.

Pada kenyataannya implementasi kebijakan pencegahan kanker serviks telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak, akan tetapi masih belum berjalan secara terpadu, komprehensif, dan berkesinambungan. Efektifnya program pencegahan kanker serviks  dapat dilihat dari beberapa faktor pencapaian tingginya jumlah cakupan skrining, pemberian test yang efektif dan melakukan pengobatan yang sesuai pada hasil test positif kanker serviks.

Sistem pemerintahan yang bersifat desentralisasi juga membawa pengaruh terhadap implementasi kebijakan kesehatan di Indonesia. Dengan sistem desentralisasi, pembangunan kesehatan dilakukan dengan mempertimbangkan masalah dan kebutuhan kesehatan dan potensi daerah setempat. Selain itu juga sistem desentralisasi memberikan kewenangan bagi daerah untuk menentukan sendiri program serta pengalokasian dana untuk pembangunan kesehatan di daerahnya.

Hambatan pengendalian kanker serviks
1.       Hambatan politik
Prioritas kesehatan terhadap perempuan untuk masalah kanker serviks di Indonesia masih rendah, meskipun diketahui insiden, morbiditas, dan mortalitasnya tinggi. Belum adanya panduan nasional yang berbasis bukti data seperti data epidemiologi lokal dan muktahir. Untuk mendorong keberhasilan suatu program sangat diperlukan kebijakan politik yang didalam penerapan suatu kebijakan diperlukan pertimbangan sesuai dengan kondisi wilayah seperti akses layanan kesehatan, akses fisik, ekonomi, pengambilan keputusan di dalam keluarga dan akses informasi.

2.       Hambatan individu dan komunitas
Kepedulian masyarkat yang masih kurang terhadap penyakit kanker serviks dianggap menjadi masalah kesehatan. Perempun kurang beresiko kurang menyadari perlunya pemeriksaan rutin skrining kanker serviks terutama bila tidak ada keluhan. Adanya sikap, kepercayaan, dan konsep yang salah menghambat masyarakat untuk mendiskusikan maasalah traktus genetalia yang dianggap masaalah pribadi dan malu untuk dibicarakan terutama apabila berhadapan dengan pemberi jasa pelayanan pada kesehatan laki-laki.

3.       Hambatan ekonomi
Belum teralokasinya sumber-sumber dana dan sarana yang memadai membuat masalah kanker serviks dianggap memiliki prioritas yang rendah dan sering kali kanker serviks tidak dianggap masalah atau menjadi prioritas dana.

4.       Hambatan keknikal dan organisasi
Sistem kesehatan yang berfungsi baik terhadap infrastruktur dan sistem organisasi kesehatan dapat dilihat dengan terpenuhinya peralatan dan tenaga yang terlatih untuk menjalankan aktivitas pencegahan, skrining, diagnosis, rujukan, pengobatan, dan pengamatan lanjut.

Nama: Tiara Zahra Pratiwi
NIM: 1500029323
Kelas: A
Makul: Administrasi dan Kebijakan Kesehatan